CuplikanTanya Jawab- Ustadz Bambang Abu Ubaidillah hafizhahullah #abuubaidillahcom #auctv #auc
Berikut ini nasehat yang disampaikan oleh Syaikh Shalih Bin Abdul Aziz Alu Syaikh –hafizhahullah– tentang adab-adab bertanya kepada ahli ilmu, yaitu para ulama, ustadz, thalibul ilmi, atau orang-orang yang dipercayai keilmuannya. Penjelasan ini beliau sampaikan secara lisan dalam sebuah ceramahnya. Beliau berkataAda beberapa keadaan yang berkaitan dengan masalah bertanya kepada ahli ilmu. Tentu manusia butuh untuk bertanya, namun pertanyaan ini bisa bermacam-macam keadaan. Keadaan yang berkaitan dengan penanya, serta keadaan yang berkaitan dengan orang yang bagi penanya, hendaknya ia memperhatikan adab-adab sehingga orang yang ditanya dapat menjawab dengan jawaban yang pas dan benar –Insya Allah-. Oleh karena, wajib bagi penanya untuk memperhatikan beberapa adab-adab dalam bertanya, diantaranyaPersiapkan pertanyaan dengan baik Salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya dengan pertanyaan yang jelas dan tidak samar, yaitu menjelaskan duduk permasalahan sebelum bertanya. Perlu digaris bawahi bahwa sebagian kaum muslimin ketika mendapatkan masalah atau musykilah keraguan lantas ia mendatangi ahli ilmu dan langsung bertanya tanpa mempersiapkan rincian permasalahannya. Atau terkadang, langsung ia menyalakan telepon lalu bertanya tentang hal yang mengganggunya tanpa menjelaskan keadaan yang berhubungan dengan pertanyaan. Ketika ia hendak meminta penjelasan, ia mendatangi orang alim lalu bertanya dengan beberapa rincian saja, lalu berkata “Demi Allah, saya tidak tahu tentang hal ini wahai orang alim, nasehatilah saya“. Demikian. Tentu orang alim tadi menjawab “Saya tidak tahu“.Maka penanya hendaknya mempersiapkan rincian pertanyaan sebelum bertanya. Karena pertanyaan yang anda tanyakan adalah tentang hukum Allah Jalla Wa Ala, yang jika anda mendapatkan jawabannya anda akan terbebas dari kesusahan. Dan orang alim yang ditanya pun mendapatkan gambaran pertanyaan dengan jelas. Karena jika tidak jelas, bagaimana mungkin ia dapat menjawab hal yang belum jelas?Memperhatikan waktu ahli ilmu Dengan demikian, hendaknya yang pertama dilakukan oleh penanya adalah mempersiapkan pertanyaan dengan baik dan bahasa yang sesingkat mungkin. Jangan anda mengira bahwa orang yang biasa ditanya masalah agama, yaitu mufti atau para thalibul ilmi yang dapat menjawab pertanyaan, jangan anda mengira mereka itu hanya ditanya satu atau dua pertanyaan saja. Di zaman ini, dengan telepon, pada ahli ilmu memungkinkan untuk dihubungi baik dari daerah sendiri atau dari luar daerah. Bahkan mereka ditanya puluhan ribu kali dalam setahun, atau 20-30 pertanyaan sehari. Oleh karena itu, salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya, hendaknya penanya menyadari sempitnya waktu sang mufti tersebut, dan sempitnya waktu yang ia miliki untuk melayani ia mempersiapkan pertanyaan dengan bahasa yang jelas dan tidak samar serta bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sang mufti yang terbatas itu, sehingga pertanyaan yang ia sampaikan jadi bermanfaat. Dengan kata lain, jangan anda berpikiran bahwa yang dibalas teleponnya atau dijawab pertanyaannya hanyalah anda satu-satunya. Bahkan hendaknya anda menyadari bahwa yang bertanya kepada sang mufti ada puluhan orang yang bertanya setiap waktu. Sehingga wajib baginya memperhatikan kondisi dan adab, terutama dalam menyingkat pertanyaan. Dan jawaban pun tergantung dari pertanyaan yang disampaikan. Jika pertanyaan jelas, jawaban pun akan jelas. Oleh karena itu, anda lihat bahwa pertanyaan Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam merupakan dalil anjurkan untuk bertanya dengan jelas dan dalil bahwa jawaban yang jelas itu dibangun dari pertanyaan yang jelas. Jibril Alaihissalam bertanya kepada Nabi “Kabarkan kepadaku tentang Islam“, pertanyaan yang jelas dan ringkas. Lalu “Kabarkan kepadaku tentang iman“, “Kabarkan kepadaku tentang ihsan“, “Apa tanda-tanda kiamat?“, dan semisal itu. Ini semua pertanyaan yang jelas, bahasa ringkas, dan diawali dengan rincian serta pertanyaan yang jelas sebelum bertanya. Inilah adab yang mestinya yang terjadi, ketika jawaban seorang mufti tidak jelas itu disebabkan oleh pertanyaan yang tidak jelas. Andai penanya bertanya dengan mempersiapkan pertanyaan dengan baik lalu baru bertanya, tentu jawaban akan bertanya yang sudah diketahui Adab lain yang perlu diperhatikan oleh penanya adalah tidak bertanya tentang sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya. Sebagian penuntut ilmu, atau orang yang sudah bisa menelaah masalah, terkadang sudah pernah menelaah sebuah masalah dan mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang hal tersebut, namun ia datang kepada mufti lalu bertanya. Jika sang mufti menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan salah satu pendapat yang ada, namun terdapat pendapat ulama yang berlainan, si penanya berkata “Apa dalil jawaban anda?“. Jika dalilnya dijelaskan, si penanya pun membantah dalil tersebut, atau ditentang dengan dalil lain, atau ia berkata “Sebagian ulama berkata tidak demikian“, atau semacamnya. Bedakanlah antara bertanya untuk mengambil manfaat atau untuk mengajari -padahal anda orang yang tidak tahu- atau untuk mengajak diskusi. Karena bukan itu tugas seorang anda pun belum membuka diskusi misalnya dengan berkata Saya ingin mengajak anda berdiskusi tentang masalah ini. Apa yang dimaksud mengajak diskusi? Maksudnya aku akan berdebat denganmu, agar engkau tahu apa pendapat dan dalilku dan aku tahu pendapat dan dalilmu, sampai kita bertemu titik kebenaran. Bukan ini yang diharapkan, terlebih lagi hal ini merupakan sikap tidak sopan terhadap ahli ilmu. Karena perbuatan tersebut termasuk melukai hak seorang ulama, kecuali jika anda memaparkan bahwa anda ingin meminta bantuan beliau untuk meneliti sebuah permasalahan. Jika demikian, anda memiliki sebuah penelitian, dari penelitian itu dikeluarkan pertanyaan untuk diminta fatwa dari sang mufti, anda bertanya, mufti menjawab dan gemar bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya ini terkadang juga terjadi di kalangan para penuntut ilmu di majelis mengetahui jawabannya namun tetap bertanya agar orang lain tahu bahwa ia mengajukan pertanyaan yang bagus, atau semisal itu. Mulai dari sekarang, kurangilah bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya, dan bertanyalah pada hal yang belum tahu saja. Demikianlah adabnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirmanفَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Bertanyalah kepada ahli dzikir jika engkau tidak tahu” Jika sudah tahu, jangan bertanya. Karena anda sudah punya ilmunya, dan waktu seorang mufti atau seorang penuntut ilmu itu dapat digunakan untuk kepentingan dan kewajiban lain yang sangat banyak. Sehingga ia dapat menghemat waktu untuk aktifitas yang bertanya kepada satu orang ahli ilmu yang dipercaya Adab lain yang mesti diperhatikan adalah jangan menyebutkan pendapat mufti lain kepada mufti yang ditanya. Sebagian orang bertanya lewat telepon sekali, setelah itu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain. Akhirnya ia pun bingung. Karena bingung, akhirnya ia pun memilih jawaban yang paling enak dan ringan. Ini tidak patut. Hendaknya penanya jika memiliki pertanyaan ia datang kepada seorang alim yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Sebagaimana perkataan para ulamaينبغي للمستفتي أنْ يسأل من يثق بعلمه ودينه“Hendaknya penanya itu bertanya kepada orang yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya”Jika anda percaya kepada Fulan maka tanyalah ia, lalu setelah itu jangan tanya lagi kepada yang lain. Karena jika anda bertanya kepada yang lain, kadang akan mendapatkan jawaban berbeda yang membuat anda anda boleh bertanya kepada lebih dari satu orang, jika jawaban pertama itu meragukan dari sisi dalil. Yaitu jika penanya memiliki sedikit ilmu tentang dalil lalu jawaban pertama agak meragukan dari sisi dalil, maka boleh bertanya kepada yang lain. Karena dalam hal ini, apakah jawaban yang membuat anda puas bukanlah yang cocok dengan kondisi anda, atau jawaban yang tidak sulit mengamalkannya, atau karena anda berniat mencari-cari jawaban yang paling enak dan ringan? Tidak, namun dari sisi adanya keraguan apakah jawaban tersebut memang benar-benar sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam atau tidak? Ini terjadi jika penanya tahu sebagian dalil yang bertentangan dengan jawaban karena ini, merupakan adab dalam bertanya adalah tidak bertanya kepada lebih dari satu orang alim untuk satu pertanyaan, karena dapat berakibatMembuang-buang waktu orang alimDapat menyebabkan penanya kebingungan. Kebanyakan mereka berkata “Saya sudah lelah bertanya namun masih bingung. Mufti A berkata demikian, Mufti B berkata demikian“. Kita katakan “Anda yang salah dari awal. Karena anda bertanya kepada lebih dari satu orang alim. Tanyalah kepada orang alim yang anda percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Ambillah fatwanya dan anda pun tidak ada beban lagi di hadapan Allah. Karena yang Allah perintahkan kepada anda adalah bertanya kepada ahli dzikir, dan anda telah melaksanakannya. Janganlah menambah-nambah beban bagi diri anda”Bertanya dengan lugas, tidak berputar-putar Adab lain yang juga mesti diperhatikan adalah tidak bertanya dengan pertanyaan yang berputar-putar. Misalnya seseorang bertanya “Ada orang yaitu si Fulan, ia mengalami ini dan itu…”. Padahal penanya ini ingin menanyakan permasalahan yang terjadi padanya dengan memberikan pertanyaan yang kasusnya mirip. Penanya ini mengira, jika pertanyaan ini dijawab, maka jawaban itu berlaku juga untuk dirinya. Padahal pada kenyataannya masalah yang dimiliki si penanya berbeda dengan yang ditanyakan, namun si penanya mengira sama. Orang alim yang ditanya pun tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya dan ia tidak tahu bahwa yang butuh solusi adalah si penanya itu, akhirnya orang alim ini menjawab secara umum kepada ahli ilmu bukanlah aib, bahkan itu perbuatan mulia. Karena menunjukkan bahwa si penanya bersemangat dalam kebaikan dan untuk terlepas dari bebannya, sehingga dapat meringankan kesulitan ia kelak ketika menghadap Allah Ta’ala. Ketika anda bertanya, janganlah bertanya dengan berputar-putar. Tanyalah secara jelas sesuai dengan kenyataan yang ada, janganlah segan. Sebagian shahabiyyah pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang haid, tentang kehamilan bagaimana hukumnya, dll. Dalam pertanyaan bukanlah tempatnya untuk malu-malu. Malu itu memang terpuji, namun jika malu itu dapat menjauhkan anda dari ilmu tentang hukum Allah maka saat itu malu tidak terpuji, sebagaimana terdapat dalam demikian, termasuk adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya sesuai dengan kebutuhannya. Jangan mengira bahwa jika anda memutar-mutar pertanyaan, anda akan mendapatkan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan anda. Padahal sebaliknya, ternyata jika permasalahan atau kejadian itu dijelaskan dengan jelas justru akan didapatkan jawaban yang 100% berbeda. Oleh karena itu jangan berputar-putar ketika bertanya kepada ahli ilmu, baik dalam permasalahan fiqih, masalah pribadai atau yang berkaitan dengan kejadian-kejadian. Bertanyalah dengan jelas, dan ini termasuk menghormati ahli ilmu serta merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban yang benar. Adapun jika kita membodohi’ para ahli ilmu sehingga kita mendapatkan jawaban mereka, ini bukan sikap yang layak. Yang layak adalah memuliakan mereka. Perbuatan ini pun membuat anda belum terlepas dari beban untuk bertanya kepada ahli ilmu. Karena anda yang telah membuat orang alim tersebut menjawab, padahal jika anda menjelaskan pertanyaan sesuai keadaan sebenarnya terkadang jawabannya berbeda. Oleh karena itu, anda belum bebas dari bebanDari hal ini, saya memandang bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi berupa dipertentangkannya fatwa-fatwa ulama, baik dalam masalah fiqih, masalah aktual, masalah sosial, atau yang lain, adalah karena orang yang bertanya menggunakan pertanyaan yang berputar-putar dan menyamarkan sang mufti. Yang dimaksud bukanlah yang ditanyakan. Sikap ini tidaklah layak. Karena Allah Ta’ala memerintahkan kita dengan perintah yang jelas, yaitu bertanya. Sedangkan perbuatan ini termasuk melampaui batas dari yang selayaknya, yaitu bertanya dengan adab yang untuk diri sendiri Adab lain yang semestinya diperhatikan ketika bertanya adalah hendaknya penanya bertanya untuk dirinya dan bukan untuk orang lain. Banyak penanya yang berkata “Temanku titip pesan, ia bertanya tentang ini dan itu…”. Atau ia berkata “Jika Fulan -yaitu teman kerjanya- demikian, maka ia akan mengalami demikian dan demikian, ia titip pesan untuk menanyakannya kepada anda”. Keadaannya bisa bermacam-macam. Padahal seorang mufti tentu akan meminta rincian, dan tentu ia akan bertanya tentang rincian itu, misalnya “Bagaimana kejadian sebenarnya?”, atau “Apakah kejadiannya seperti ini dan itu?”. Jika penanya ini bukanlah orang yang memiliki pertanyaan, ia tentu tidak bisa menjawab pertanyaan tentang rincian tersebut, melainkan hanya tahu sebatas pertanyaan singkat yang terkadang, hal yang dapat membuat penanya yang sebenarnya langsung bertanya kepada orang alim adalah adanya keseganan atau rasa malu. Sebagaimana yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, ia lelaki yang sering keluar banyak madzi. Namun ia malu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam karena Nabi adalah mertuanya. Ali pun segan dan malu untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang hal yang berhubungan dengan perihal suami-istri ini. Maka Ali pun mengutus Miqdad untuk menanyakan kepada Nabi tentang masalah ini. Lalu Nabi menjawab. Kemudian Miqdad Radhiallahu’anhu menukilkan jawaban tersebut kepada Ali Radhiallahu’ demikian, pada asalnya seseorang hendaknya tidak bertanya kecuali yang khusus untuk dirinya. Karena jawaban pertanyaan bisa berbeda-beda tergantung penanya dan tergantung konteks pertanyaan. Selain itu, orang yang dipesankan pertanyaan tidak selalu pasti bisa menjelaskan jawaban sesuai dengan yang sebenarnya. Dan kebanyakan dari kondisi ini, jawaban dari fatwa bisa didapatkan jika pertanyaan ini tidak ada kesamaran dalam konteks terburu-buru minta dijawab dengan segera Adab lain yang semestinya diperhatikan adalah jika anda bertanya kepada ahli ilmu lewat telepon atau bukan lewat telepon, janganlah meminta untuk dijawab dengan segera secara tertulis atau dijawab dalam rekaman, kecuali jika orang alim tersebut mengizinkan. Kejadian ini sering saya dapati berkali-kali, yaitu sebagian ikhwah mereka merekam jawaban dari ahli ilmu dengan cara yang tidak layak. Hal ini dikarenakan seorang alim hanya menjawab sesuai kadar pertanyaan dari si penanya. Yang bisa jadi, jika orang alim ini sebelumnya diberitahu bahwa jawaban beliau itu direkam dan akan diperdengarkan kepada orang banyak, jawabannya akan berbeda. Dan hal ini termasuk kurang hormat kepada ahli ilmu dan kurang memperhatikan adab terhadap mereka, yaitu merekam jawaban dari ahli ilmu dengan telepon atau tulisan, lalu disebarkan tanpa izin mereka. Karena ahli ilmu memiliki hak untuk memutuskan fatwanya boleh disebar secara penuh kepada orang banyak atau tidak. Dan penanya hendaknya bertanya khusus untuk dirinya. Jika anda memang ingin merekamnya, hendaknya diawal pertanyaan anda mengatakan “Semoga Allah memberikan kebaikan untuk anda. Saya bermaksud untuk merekam jawaban anda dalam rekaman, dan rekaman akan dimulai dari sekarang”. Jika beliau memang mengizinkan, maka anda telah melakukan adab yang jangan berlaku kurang hormat serta membuat duduk perkaranya kurang jelas, yaitu seseorang memanfaatkan beberapa kesempatan, merekam jawaban dari ahli ilmu, yang sebenarnya tidak disukai oleh ahli ilmu yang memfatwakannya. Hal ini berkali-kali terjadi, ketika ahli ilmu tersebut dikonfirmasi mengenai rekaman fatwa tadi, ia berkata “Saya tidak pernah berkata demikian secara rinci, karena dalam masalah ini ada perincian”. Nah coba perhatikan, jawaban di rekaman sudah jelas, namun mengapa ahli ilmu tersebut mengatakan dalam masalah tersebut masih ada perincian? Jawabannya, karena sekarang beliau sudah memiliki gambaran permasalahan sebenarnya, namun saat penanya bertanya lewat telepon beliau mengira pertanyaan ini bukanlah tentang diri si penanya diperintahkan untuk menghormati ahli ilmu, sebagaimana terdapat dalam banyak atsar dari tabi’in yang menyatakan demikian. Dan termasuk dalam sikap hormat terhadap ahli ilmu adalah tidak bersikap lancang dengan menyebarkan rekaman perkataan mereka, atau menulisnya, kecuali ada penyataan dari mereka boleh untuk melakukannya. Demikian juga yang berupa rekaman syarah penjelasan tentang suatu masalah, seharusnya di serahkan dahulu kepada ahli ilmu tersebut, biar beliau yang memutuskan apakah akan disebarkan, akan di-edit, dihapus, atau boleh direkam semuanya. Seharusnya demikian. Karena terkadang, sebuah ilmu itu bermanfaat bagi sebagian kecil orang, namun tidak bermanfaat bagi sebagian besar orang. Karena kebanyakan orang, yaitu masyarakat, berbeda-beda tingkatan pemahamannya. Karena seorang alim, ketika akan berbicara, ia melihat keadaan audiens yang ada. Demikianlah. Jika seorang ulama sudah diberitahu bahwa jawabannya akan disebarkan kepada masyarakat yang berbeda-beda tingkat pemahamannya, ia akan menjawab dengan jawaban yang berbeda. Oleh karena itu, jika anda perhatikan anda akan menemukan seorang ulama memiliki jawaban berbeda antara menjawab pertanyaan lewat telepon dengan jawaban yang anda dengar dari acara Nuurun Ala Darb. Bisa jadi pada jawaban tersebut memang terdapat tafshil rincian, dalil pendalilan lain, ta’lil sisi alasan lain, atau semacamnya. Sehingga pada acara Nuurun Ala Darb misalnya, beliau akan menjawab dengan lengkap. Sedangkan jawaban beliau terhadap anda lewat telepon cukup sekedar jawaban “ini benar”, atau “ini tidak benar”, atau “boleh”, atau “ini tidak boleh”, atau “yang sunnah adalah begini, secara ringkas”, karena waktunya sempit untuk menjawab dengan rinci kepada semua orang.
Sahabatbertanya, "Ada seorang sahabat yang bertanya tentang balasan bagi orang yang bersikap adil selama di dunia." Rasul Menjawab, "Sesungguhnya orang yang berlaku adil akan berada di atas punggung yang terbuat dari cahaya di sebelah kanan Allah Azza Wa Jalla, dan kedua sisinya dalam keadaan baik, yaitu orang-orang yang bekerja di dalam hukum, dalam
Adab para Kiai dalam menjawab itu diantaranya, pertama para kiai akan mengaku tidak tahu kalau tidak mengetahui jawabannya. Kedua, kalaupun mereka tahu, mereka akan menunggu orang lain untuk terlebih dahulu menjawab atau meminta kepada penanya untuk bertanya kepada orang lain yang lebih mengetahui jawabannya. Terakhir, baru mereka akan menjawab. Saya lama antri di rumah KH Abdurrahman Wahid Gus Dur sekitar tahun 1998. Sewaktu dapat giliran bertanya, saya tanyakan kepada Gus Dur mengenai sejumlah fatwa NU. Beliau menjawab singkat “Tanyakan saja hal tersebut kepada Said Aqil Siradj.” Sebagai santri, saya paham dan kemudian mundur ke belakang. Lantas datang Nusron Wahid yang bertanya kepada Gus Dur tentang suatu peristiwa di tanah air, Gus Dur menjawab “Saya gak tahu. Jangan tanya saya soal itu.” Luar biasa, bukan? Masih pada tahun yang sama, saya kemudian menuju Rembang dan sowan kepada KH A Mustofa Bisri Gus Mus dan menanyakan soal keputusan Munas Lampung mengenai manhaj NU dalam berfatwa. Sebelum menjawab, Gus Mus bertanya kepada saya “Sudah ke rumahnya Kiai Cholil Bisri? Itu rumahnya di depan, nanti tanya juga kepada beliau”. Indah, bukan? Begitulah adab para Kiai dalam memberi jawaban. Tidak merasa paling tahu, apalagi merasa jawaban yang diberikan adalah satu-satunya kebenaran. Bagaimana dengan adab kita selaku penanya? Pertama, kita pahami dulu bahwa kita mengajukan pertanyaan baik tatap muka langsung atau lewat media sosial itu sudah mengambil waktu mereka. Beruntunglah kalau mereka mau menjawab. Kalau karena satu dan lain hal mereka tidak berkenan menjawab, masak kita mau memaksa? Tetap jaga akhlak kita. Kedua, kita bertanya kepada mereka itu karena kita percaya dengan otoritas mereka. Jadi, jangan kemudian bersikap kita lebih tahu atau mau mengajak berdebat dengan tanya dalil macam-macam. Kalau memang tidak percaya dengan otoritas keilmuan mereka, ya kenapa bertanya kepada mereka? Tanya orang lain saja. Meminta jawaban lengkap dan panjang lebar itu artinya semakin menyita waktu mereka. Padahal ini gratis. Gratis saja kok memaksa minta jawaban lengkap dengan rujukan macem-macem. Memangnya buat makalah untuk seminar? smile emoticon Jadi, kalau diberi jawaban ya syukuri saja. Meski jawabannya pendek. Kalau tidak dijawab, ya tetap jaga akhlak kita, jangan malah ngomel-ngomel dengan menuduh mereka menyembunyikan ilmu. Kalau gak cocok dengan jawabannya, ya silahkan cari second opinion. Ingat, mereka yang kita tanya itu tidak punya kewajiban menjawab pertanyaan kita. Jawaban mereka itu seperti sodaqah dari mereka untuk kita. Kita faqir, mereka alim. Kita tidak tahu, mereka lebih tahu. Kalau mereka mau men-sodaqahkan apa yang mereka tahu, itu pahala buat mereka. Tapi mereka tidak wajib ber-sodaqoh ilmu mereka kepada kita. Saya melihat di media sosial saat ini adab bertanya dan adab menjawab sudah mulai ditinggalkan. Yang menjawab tidak lagi dengan ilmu, dan yang bertanya tidak lagi bertanya dengan akhlak. Yang menjawab merasa jawabannya paling benar, dan yang bertanya tidak percaya dengan otoritas keilmuan yang menjawab, malah ngeyel atau melecehkan jawaban yang diberikan. Yang menjawab, selalu merasa paham semua persoalan sehingga dijawab sendiri semua pertanyaan, dan yang bertanya terus memaksa seakan-akan pertanyaannya harus dijawab. Yang menjawab sering menganggap yang bertanya itu bodoh, dan yang bertanya sering bermaksud menguji sampai dimana pertanyaannya bisa dijawab. Mari kita belajar kembali adab dalam melakukan tanya-jawab. Media sosial ini cuma alat, tool atau cara kita berkomunikasi. Dari semula face-to-face, sekarang hanya screen-to-screen. Jadi, alat komunikasinya saja yang berubah, namun akhlak harus tetap kita jaga. HP boleh semakin “modern”, tapi tata krama kita tetap harus “tradisional”. Jangan sampai alat komunikasi yang kita pakai semakin canggih, namun sikap dan perilaku kita malah semakin gak karuan. Mari yuk…sama-sama kita belajar terus untuk berkomunikasi yang baik di media sosial. Semoga Allah merahmati mereka yang bertanya dan mereka yang menjawab, dengan niat untuk sama-sama mencari keridhaan Allah. Amin Ya Allah Tabik, Nadirsyah Hosen Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School. Juga sebagai Wakil Ketua Dewan Pengasuh Pesantren Takhasus IIQ Jakarta.
Berhentimembaca saat tempat untuk menjawab salam, menjawab adzan, menjawab orang yang bertanya, mendoakan orang yang bersin, dsb Referensi bacaan : * Adz-Dzikir wa ad Du’a wa al-ilaj ar-Ruqa min al-Kitab wa as Sunah, Said Bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Maktabah Ar-Rusyd, Mamlakah Al-Arabiayah As-Su’uddiyah
DALAM belajar kita membutuhkan panutan yang bisa mengajarkan ilmu. Dan dia adalah seorang guru. Ya, guru merupakan sosok yang mampu dan mau secara sukarela mentransfer ilmu kepada muridnya. Kita, sebagai orang yang menerima, perlu adanya keseriusan dalam menerima ilmu yang diberikan. Keseriusan dalam belajar, bukan hanya fkus pada materi pembelajaran saja. Guru pun perlu kita perhatikan. Sebab, gurulah yang mempunyai peran penting dalam pemberian ilmu kepada kita. Maka, ketika guru ada di depan kita, kita perlu memperhatikan ada-adab tertentu. Dan dalam Islam, sedikitnya ada 4 adab yang harus kita perhatikan. Apa sajakah itu? 1. Adab dalam Mendengarkan Pelajaran Bagaimana rasanya jika kita berbicara dengan seseorang tapi tidak didengarkan? Sungguh jengkel dibuatnya hati ini. Maka bagaimana perasaan seorang guru jika melihat murid sekaligus lawan bicaranya itu tidak mendengarkan? Sungguh merugilah para murid yang membuat hati gurunya jengkel. Agama yang mulia ini tak pernah mengajarkan adab seperti itu, tak didapati di kalangan salaf adab yang seperti itu. Sudah kita ketahui kisah Nabi Musa yang berjanji tak mengatakan apa-apa selama belum diizinkan. Juga para sahabat Rasulullah yang diam pada saat Rasulullah berada di tengah mereka. Bahkan di riwayatkan Yahya bin Yahya Al-Laitsi tak beranjak dari tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah yang lewat di tengah pelajaran. Yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain. Apa yang akan Yahya bin Yahya katakan jika melihat keadaan para penuntut ilmu saat ini. Jangankan segerombol gajah yang lewat, sedikit suara pun akan dikejar untuk mengetahuinya seakan tak ada seorang guru di hadapannya. Belum lagi yang sibuk berbicara dengan kawan di sampingnya, atau sibuk dengan gadgetnya. 2. Adab Bertanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” QS. An-Nahl 43. Bertanyalah kepada para ulama, begitulah pesan Allah di ayat ini, dengan bertanya maka akan terobati kebodohan, hilang kerancuan, serta mendapat keilmuan. Tidak diragukan bahwa bertanya juga mempunyai adab di dalam Islam. Para ulama telah menjelaskan tentang adab bertanya ini. Mereka mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya. Di dalam Al-Quran terdapat kisah adab yang baik seorang murid terhadap gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi Musa Alihi Salam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu, “Khidir menjawab, sungguh, engkau Musa tidak akan sanggup sabar bersamaku,” QS. Al-Kahfi 67. Nabi Musa, Kaliimullah dengan segenap ketinggian maqomnya di hadapan Allah, tidak diizinkan untuk mengambil ilmu dari Khidir, sampai akhirnya percakapan berlangsung dan membuahkan hasil dengan sebuah syarat dari Khidir. “Khidir berkata, jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya,” QS. Al-Kahfi 70. Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir kepada Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkannya untuk bertanya maka jangalah bertanya, tunggulah sampai ia mengizinkan bertanya. Kemudian, doakanlah guru setelah bertanya seperti ucapan, “Barakallahu fiik”, atau “Jazakallahu khoiron”, dan lain lain. Banyak dari kalangan salaf berkata, “Tidaklah aku mengerjakan shalat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru-guruku semuanya.” 3. Adab Berbicara Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para Sahabat Nabi ﷺ, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut. Mereka tidak pernah memotong ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya. Bahkan, Umar bin Khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan Rasulullah. Di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara. Di hadis Abi Said Al-Khudry Radhiallahu Anhu juga menjelaskan, “Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah ﷺ kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara,” HR. Bukhari. 4. Adab Duduk Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di dalam kitabnya Hilyah Tolibil Ilm mengatakan, “Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk bersama syaikhmu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan mendengarkannya.” Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan ini, “Duduklah dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak bersandar, apalagi saat berada di dalam majelis.” Ibnul Jamaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi gurunya.” Keempat hal itu perlu untuk kita perhatikan. Sebab, guru adalah panutan. Guru sumber ilmu. Dan kita tidak tidak akan mengetahui akhlak mulia seorang guru dan ilmu bermanfaat darinya jika kita tidak melakukan ada-adab tersebut dengan baik. Oleh karena itu, raihlah keberkahan dalam menuntut ilmu dengan memperhatikan adab-adab kepada guru. [] SUMBER
- Εβ νоኄоձеже
- Վоч дрէվαдухаፉ ጧድዞшոч
- Ува хխ ег
Muslim 1/559. No. 817). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya termasuk sikap mengagungkan Allah adalah memuliakan orang yang sudah beruban (orang tua) muslim, memuliakan ahli Al-Qur’an dengan tidak berlebihan dan tidak menyepelekannya, dan memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Daud, 2/677.
Ditulis oleh Al-Ustadz Fahmi Abu Bakar Jawwas Al-Madinah, KSA الحمد لله نستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهد الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما Syaikh Muhammad Al-Imaam hafidzahullaah berkata, “Dan Imam Asy-Syatibi rahimahullaah telah memperhatikan dengan menyebutkan di beberapa tempat yang dibenci di dalamnya suatu pertanyaan, kita meringkasnya sebagai berikut Pertanyaan yang tidak ada manfaat untuk agamanya. Pertanyaan setelah apa-apa yang telah sampai dari suatu ilmu itu untuk kebutuhannya. Pertanyaan yang dia tidak membutuhkannya pada waktu itu. Pertanyaan yang paling sulit dan paling buruknya. Pertanyaan tentang sebab hukum peribadahan. Berlebih-lebihan dalam bertanya sehingga sampai kepada batasan pembebanan. Tampak dari pertanyaan, penyelisihannya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dengan akal. Pertanyaan tentang perkara yang masih samar-samar. Pertanyaan tentang apa-apa yang terjadi dari perselihan kaum salaf. Pertanyaan mencari kesalahan yang menjatuhkannya ketika perdebatan. Dan larangan di dalamnya tidaklah sama, tetapi disana ada yang sangat dibenci, dan ada juga yang ringan, dan ada juga yang diharamkan dan ada juga tempat bagi ijtihad.” Al-Ibaanah 139. Keterangan 1. Pertanyaan yang tidak ada manfaat untuk agamanya. Seperti pertanyaan Abdullaah bin Hudzaafah radiyallaahu anhu kepada Rasulallaah shalallaahu alaihi wa sallam, “Siapakah ayahku?” 13/265 no. 7294, Muslim 4/1832 no. 2359 dari hadits Anas bin Maalik radhiallaahu anhu 2. Pertanyaan setelah apa-apa yang telah sampai dari suatu ilmu itu untuk kebutuhannya. Seperti pertanyaan bani Israil kepada Nabi Musa alaihis salaam وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ ٦٧قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ ٦٨قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ ٦٩قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ ٧٠قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأرْضَ وَلا تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لا شِيَةَ فِيهَا قَالُوا الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ البقرة “Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” Mereka menjawab, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu.” Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya”. Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.” Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk untuk memperoleh sapi itu.” Musa berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.” Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. QS. Al-Baqarah 67-71. 3. Pertanyaan yang dia tidak membutuhkannya pada waktu itu. Dan ini adalah khusus bagi yang belum diturunkan hukum di dalamnya. Hadits Rasulallaahu shalallaahu alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah aku dengan apa-apa yang telah aku wariskan kepada kalian karena sesungguhnya kebinasaan kaum sebelum kalian itu dengan banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka, apa-apa yang telah aku larang darinya maka jauhilah, dan apa-apa yang telah aku perintahkan kepadanya, lakukanlah semampu kalian.” 13/251 no. 7288, Muslim 2/975 no. 1337 dari hadits Abu Hurairah radiyallaahu anhu 4. Pertanyaan yang paling sulit dan paling buruknya. Seperti larangan Nabi shalallaahu alaihi wa sallaam tentang mencari kekeliruan ulama haditsnya dhaif, dan perkara ini masuk kedalam no. 1 dan no. 3. Berkata Ash-Shan’ani rahimahullaah dan sesungguhnya larangan Nabi shalallaahu alaihi wa sallam yaitu mencari kekeliruan ulama agar mereka di bilang tergelincir dan akan menimbulkan fitnah, sesungguhnya pelarangan itu dikarenakan tidak bermanfaat di dalam agama, dan hampir-hampir tidak di dapati kecuali di dalam permasalahan yang tidak bermanfaat Subul As-Salaam. 5. Pertanyaan tentang sebab hukum peribadahan. Seperti pertanyaan Mua’dzah bin Abdillaah rahimahallaah kepada Aisyah radiyallaahu anha tentang qadha puasa tanpa mengqadha shalat bagi wanita yang haidh. Aisyah radiyallaahu anha berkata, “Apakah kamu seorang Haruuriyyah yaitu tempat berdiamnya khawarij?.” HR. Muslim 1/265 no 335. 6. Berlebih-lebihan dalam bertanya sehingga sampai kepada batasan pembebanan. Ini relatif tergantung pada perseorangan, kadang menurut si A pertanyaan itu beban baginya tetapi menurut si B itu bukan beban. قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ “Katakanlah hai Muhammad, “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah aku Termasuk orang-orang yang membeban-bebankan.” QS. Shaad86 7. Tampak dari pertanyaan,penyelisihannya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dengan akal. Hadits tentang lalat, melihat Allah subhanahu wa Ta’ala, dll. 8. Pertanyaan tentang perkara yang masih samar-samar. Pertanyaan seseorang kepada Imam Malik rahimahullaah mengenai Istiwaa Allah. Allah berfirman, هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ ال عمران٧ Artinya, “Dia-lah yang menurunkan Al kitab Al Quran kepada kamu. di antara isi nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan orang-orang yang berakal. 7. 9. Pertanyaan tentang apa-apa yang terjadi dari perselihan kaum salaf. Telah ditanya Umar bin Abdil Aziiz rahimahullaah tentang peperangan Shiffiin. Beliau rahimahullaah berkata , “Itu adalah darah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga kedua tanganku, maka aku tidak ingin menodainya dengan lisanku.” diriwayatkan oleh Al-Khaththaabi di dalam kitab Al-Uzlah 136, Ibnu Abdil Barr di dalam Jaami’ Al-Bayaan Al-Ilm 2/934. 10. Pertanyaan mencari kesalahan yang menjatuhkannya ketika perdebatan. وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah atas kebenaran isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.” QS. Al-Baqarah 204 Telah diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu anha berkata Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلىَ اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ “Orang yang paling dibenci Allah adalah yang suka berdebat.” Muttafaqun alaihi Juga dari hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu berkata Rasulullaah shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ اْلآيَةَ {مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ{ “Tidaklah tersesat satu kaum setelah mendapatkan hidayah yang dahulu mereka di atasnya, melainkan mereka diberi sifat berdebat.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” QS. Az-Zukhruf 58 [ dan Ibnu Majah, dihasankan Al-Albani rahimahullaah di dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633] Kebanyakan faedah diambil dari Al-Muwaafaqaat 4/319-321 Yang mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya Abu Bakr Fahmi Abubakar Jawwas Darul Hadits bisy Syiher harasahallaah Hadramaut 3 Rabi’uts Tsaani 1432 H / 8 Maret 2011 Published Ditulis dalam artikel islami, ilmu, islam, Nasehat, Tanya Jawab, ummat islam
KemudianNabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah bapak ibumu masih hidup ?” orang itu menjawab, “Ya” maka kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim 5/2529 Abu Dawud 2529, Nasa'i, Ahmad 2/165, 188, 193, 197 dan 221] Mengenai adab dan akhlak
Langgani saluran Telegram kami untuk berita terkini dan paparan gaya hidup pelengkap hari anda. Malu bertanya, sesat jalan. Ia peribahasa yang membawa maksud jika segan berusaha seseorang tak akan mendapat kemajuan. Tindakan bertanya adalah sesuatu perkara yang baik dan ia mungkin dapat menyelesaikan pelbagai persoalan serta masalah. Malah, ia juga sedikit-sebanyak dapat memperkukuhkan sesuatu maklumat yang anda kurang pasti ketepatannya. Namun, ada cara untuk bertanya dengan sopan terutamanya kepada orang yang tidak dikenali. Hari ini segmen refleksi berkongsi lima adab ketika mengajukan soalan. Gambar Rainier Ridao, UnsplashMemberi salam atau ucapan selamat Memberi salam adalah langkah pertama bagi menyapa seseorang untuk bertanya. Bagi umat Islam, perkataan assalamualaikum itu sendiri bermaksud selamat sejahtera ke atas kamu semua dan ia adalah sunnah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, memberi salam atau ucap selamat bukan sahaja khusus kepada umat Islam. Buat yang bukan beragama Islam, anda boleh menyapa mereka dengan ucapan secara umum seperti selamat pagi, salam sejahtera dan seumpamanya sebelum memulakan pertanyaan. Amalan ini sebagai tanda hormat dan tidak mengejutkan seseorang dengan terus bertanya tentang hal yang ingin disampaikan. Seperti yang tercatat dalam di dalam al-Quran سَلَامٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ Maksudnya “Selamat sejahteralah kamu berpanjangan, disebabkan kesabaran kamu. Maka amatlah baiknya balasan amal kamu di dunia dahulu.” Surah al-Ra’d Ayat 24Gambar PexelsGunakan bahasa yang baik dan tidak kasar Apabila hendak bertanya gunakan bahasa dan perkataan yang baik serta tidak kasar terutama kepada golongan yang lebih berusia. Ini bagi memudahkan seseorang untuk membantu menjawab persoalan yang ditanya dengan ikhlas. Tambahan lagi, ia dapat melembutkan hati seseorang untuk menghulurkan bantuan dan membantu dengan penyelesaian sesuatu masalah. Cara pertanyaan yang kurang sopan dan kasar akan menyebabkan seseorang enggan membantu dan menjawab pertanyaan. Malah, bantuan yang ingin diminta mungkin tidak akan dilayan. Seperti petikan di dalam al-Quran فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى Maksudnya “Maka hendaklah kamu berdua berkata kepadanya dengan ucapan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia mengambil peringatan atau berasa takut." Surah Taha Ayat 44Gambar Artem Maltsev, UnsplashTidak memotong kata-kata orang lain Kadang-kala kita perlu melihat keadaan sekeliling untuk mengajukan soalan terutamanya kepada individu yang lebih dewasa. Jangan sesekali menyampuk atau memotong kata-kata seseorang yang sedang berbicara dengan pertanyaan anda. Sifat ini akan memperlihatkan anda seolah-olah tidak menghormati individu yang sedang bercakap. Tindakan tersebut boleh menyebabkan orang di sekeliling merasa tidak selesa dan menjengkelkan. Maka, pastikan seseorang itu sudah selesai berbicara, kemudian angkat tangan sebagai isyarat ingin bertanya atau terus tanyakan soalan selepas Charles Deluvio,UsplashElakkan isu sensitif Dalam konteks adab bertanya, isu senisitif merujuk kepada pertanyaan yang menyentuh hal peribadi seseorang. Kadang-kala pertanyaan ini berlaku tanpa kita sedari. Isu sensitif termasuk perihal hubungan, perkauman, keadaan fizikal seseorang dan sebagainya. Elakkan daripada bertanya tentang hal-hal sebegini terutama depan khalayak. Ini kerana perkara-perkara tersebut boleh menimbulkan adegan atau perasaan malu, memberikan tekanan, menimbulkan kemarahan seseorang dan mampu mencetus pergaduhan antara satu sama lain. Berfikir dahulu sebelum bertanya dan elakkan daripada membangkitkan soalan atau pertanyaan seperti ini. Hal ini juga dirujuk oleh Abu Hurairah RA, bahawa Nabi SAW pernah ditanya berkaitan sebab kebanyakan orang dimasukkan ke dalam syurga. Baginda menjawab تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الخُلُقِ، وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ، فَقَالَ الفَمُ وَالفَرْجُ Maksudnya “Taqwa kepada Allah dan baik akhlaknya.” Lalu Baginda SAW ditanya lagi berkaitan sebab kebanyakan manusia dimasukkan ke dalam neraka? Baginda SAW menjawab “Mulut dan kemaluan.” Riwayat al-Tirmizi 2004Gambar Brett Jordan, UnsplashUcapan terima kasih Akhir sekali, perkara ini mungkin nampak mudah tetapi masih ada segelintir individu yang tidak mengamalkannya. Dua perkataan yang mudah untuk dilafazkan iaitu terima kasih adalah sebuah tanda penghargaan yang perlu diucapkan sejurus mendapat jawapan atas pertanyaan anda. Tambahan pula, ia sangat berkait rapat dengan tanda bersyukur atas kebaikan yang diperolehi daripada seseorang. Daripada Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ Maksudnya “Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi sesiapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.” Riwayat Abu Daud 4811 dan al-Tirmizi 1954 Sumber Mufti Wilayah Persekutuan
Beliaumenjawab: Orang yang darahnya dialirkan dan kudanya disembelih. Dalam hadis di atas nabi Saw menyebutkan bahwa amal yang paling mulia disisi Allah adalah keimanan tanpa ada keraguan, karena nabi SAW tau kondisi orang yang bertanya dan tau amal apa yang dibutuhkan oleh sahabat tersebut. Wallahu a’lam bishowab. Tags: amalan mulia headline.
ADAB MENGUCAPKAN SALAM﴿ آداب السلام ﴾] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسيPenyusun Majid bin Su'ud al-UsyanTerjemah Muzafar Sahidu bin Mahsun Eko Haryanto Abu Ziyad2009 - 1430﴿ آداب السلام ﴾ باللغة الإندونيسية »تأليف ماجد بن سعود آل عوشنترجمة مظفر شهيد محصونمراجعة أبو زياد إيكو هاريانتو2009 - 1430ADAB MENGUCAPKAN SALAM Yang paling pertama memerintahkan salam adalah Allah Yang Maha Tinggi, di mana Allah memerintahkan Adam alahis salam untuk mengucapkannya kepada para malaikat. Disebutkan di dalam riwayat Al-Bukhari إِنَّ اللهَ لَمَّا خَلَقَ آدَمَ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلىَ أُلئِكَ اْلمَلاَئِكَةِ فَاسْتَمِعْ مَايُجِيْبُوْنَكَ تَحِيَتُكَ وَتَحِيَّة ذُرِّيَتِكَ , فَقَالَ َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ, فَقَالُوْا اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ "Sesungguhnya Allah Ta'ala saat setelah menciptakan Adam alahis salam, Dia berfirman kepada Adam "Pergilah dan ucapkanlah salam kepada para malaikat ini dan dengarkanlah dengan apakah mereka menjawabmu, sebagai ucapan penghormatan bagimu dan bagi keturunanmu". Lalu Adam berkata َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ mereka menegaskan اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ…".[1] Dan pada masa awal kedatangan Nabi ﷺ di Madinah beliau memerintahkan para shahabat untuk menyebarkan salam. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari A'isyah, Rasulullah bersabdaمَا حَسَدَتْكُمُ اْليَهُوْدُ عَلىَ شَئٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلىَ السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ"Orang-orang Yahudi tidak dengki kepadamu karena sesuatu, mereka dengki karena salam dan ucapan amin setelah membaca Al-Fatihah".[2] Disunnahkan untuk mengawali ucapan salam kepada orang lain, dan menjawabnya adalah wajib. Dan jika seseorang mengucapkan salam kepada sebuah jama'ah, kalau dijawab oleh semua jama'ah, maka hal itu lebih bagus, namun kalau dijawab oleh salah seorang dari mereka maka yang lain terbebas dari beban tersebut.[3] Ucapan salam yang paling baik adalah اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa seorang lelaki lewat di hadapan Rasulullah ﷺdalam sebuah majlis dan mengucapkan salam اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ , beliau bersabda "Sepuluh kebaikan", lalu lewatlah lelaki lain seraya mengucapkan salam اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َ Rasulullah mengatakan "Baginya duapuluh kebaikan". Lalu lewatlah lelaki lain sambil mengucapkan salam اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ maka Rasulullah mengatakan "Baginya tigapuluh pahala kebaikan".[4][5] Dimakruhkan memulai salam dengan ucapanاَلسَّلاَمُ ْ ُ عَلََيْكُمُ Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺلاَ تَقُلْ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ فَإِنَّ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ تَحِيَّةُ المَوْتَى "Jangnlah engkau mengatakan ,عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ sebab ucapan عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ adalah penghormatan bagi orang yang telah meninggal".[6] Dianjurkan untuk mengulangi salam tiga kali jika jama'ah tempat mengucapkan salam cukup banyak atau merasa ragu dengan pendengaran orang yang disalamkan kepadanya. Dan Rasulullah ﷺ jika mengucapkan salam maka beliau mengulanginya tiga kali.[7] Dianjurkan untuk menyebarkan salam kepada orang yang engkau ketahui dan orang yang engkau tidak ketahui dan Rasulullah ﷺ bersabda إِنَّ مِنْ أَشْرَاطَ السَّاعَةِ كَانَتِ التَّحِيَّةُ عَلىَ اْلمَعْرِفَةِ"Sesungguhnya di antara tanda datangnya hari kiamat adalah penghormatan ucapan salam dilandaskan pada pengetahuan orang terhadap orang lain semata". Dalam riwayat lain disebutkanأَنْ يُسَلِّمَ الرَّجُلُ عَلىَ الرَّجُلِ لاَ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ لِلْمَعْرِفَةِ "Seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lainnya dan dia tidak mengucapkan salam tersebut kecuali karena ia mengenalnya".[8] Begitu juga hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bahwa sesorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ“Islam apakah yang terbaik? Beliau menjawab "Engkau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak kau kenal".[9] Bawasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma memasuki pasar dan tidaklah dia melewati seorangpun kecuali dia mengucapkan salam atasnya. Maka Thufail bin Abi Ka'ab berkata kepadanya Apakah yang engkau perbuat di pasar sementara dirimu tidak tinggal untuk berjual beli? Tidak bertanya tentang harga barang? Tidak menawar barang dan tidak pula duduk di majlis yang terdapat di pasar? Beliau menjawab Wahai Abu Bathn kinayah untuk orang yang besar perutnya sebab Thufail seorang yang berperut besar-kami hanya pergi untuk mengucapkan salam kepada orang yang kami temui".[10] Dianjurkan bagi orang yang datang untuk mengawali salam, dasarnya adalah kisah tentang tiga orang yang datang kepada Nabi ﷺ lalu mengucapkan [11] اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُم Termasuk sunnah bahwa seorang yang mengendarai mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang sedang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak, orang yang lebih kecil kepada orang yang lebih besar. Seandainya dua orang yang sedang mengendarai mobil atau hewan atau dua orang berjalan saling berjumpa, maka yang lebih utama adalah orang yang lebih kecil mengawali salam, seandainya orang yang lebih besar memulai salam maka dia mendapat pahala atas perbuatannya. Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ dalam riwayat Abu Hurairah t"يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى اْلمَاشِي وَاْلمَاشِي عَلىَ اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلَكثِيْرِ" وفي راية للبخار" "يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلىَ اْلكَبِيْرِ وَاْلمَارُ عَلَى اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلكَثِيْرِ""Orang yang berkendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak"[12] Dalam riwayat lain disebutkan Orang yang kecil mengucapkan salam kepada orang yang lebih besar, orang lewat / berjalan kepada orang yang duduk dan orang yang sedikit kepada orang yang banyak".[13] Apabila dua orang bertemu dan setiap mereka berdua mengawali ucapan salam maka setiap mereka berdua untuk menjawab salamnya. Syarhul Hidayah[14]. Para ulama dalam mazdhab Syafi'iy berkata Disunnahkan mengirim salam dan orang yang dipercayakan mengirim salam tersebut wajib menyampaikannya, inilah yang wajib dilakukan jika dia sanggup menanggungnya sebab dia diperintahkan untuk menyampaikan amanah, namun jika dia tidak sanggup menanggungnya maka dia tidak wajib menyampaikannya. Disebutkan di dalam kitab Al-Shahihaini dari A'isyah radhiallahu anha berkata Rasulullah ﷺbersabda "Wahai Aisayah ini Jibril datang untuk mengucapkan salam kepadamu". Dia menjawab وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ dan ditambahkan di dalam riwayat Bukhari "وَبَرَكَاتُهُ" disebutkan di dalam Syarah Muslim Didalamnya penjelasan tentang bolehnya orang asing yang bukan mahrom mengirim salam kepada perempuan asing lainnya jika tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dengan perbuatan tersebut".[15] Menjawab orang yang membawa dan orang yang mengirim salam. Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah ﷺ dan berkata Sesungguhnya bapakku mengirim salam untukmu". Rasulullah ﷺ menjawabnya[16]وَعَلَيْكَ وَعَلىَ أبِيْكَ السَّلاَم Abu Dzar t berkata "Hadiah yang baik dan beban dengan ringan". Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengucapkan salam kepada wanita asing yang bukan mahrom, ada ulama yang melarang dan ada pula membolehkan, dan semoga yang lebih kuat adalah apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad rahimhullah Jika perempuan tersebut sudah tua maka tidak apa-apa, namun jika masih muda maka tidak boleh.[17] Disunnahkan mengucapkan salam kepada anak-anak kecil, berdasarkan hadits riwayat Anas t bahwa dia melewati anak-anak dan mengucapkan salam kepada mereka, lalu menceritakan bahwa "Rasulullah ﷺ mengerjakan hal tersebut".[18] Mengucapkan salam kepada orang yang terjaga, di tempat yang terdapat padanya orang lain sedang tertidur, dengan merendahkan suara untuk memperdengarkan salam kepada orang yang terjaga tanpa membangunkan mereka yang sedang tertidur, berdasarkan hadits riwayat Miqdad bin Al-Aswad dan disebutkan di dalam hadits tersebut bahwa "Nabi ﷺ datang pada waktu malam lalu mengucapkan salam dengan suara yang tidak membangunkan orang yang sedang tertidur namun didengar oleh orang yang sedang terjaga…".[19] Dilarang mendahului ahli kitab dengan salam; berdasarkan sabda Nabi ﷺلاَ تَبْدَؤُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَم ِفَإِذَا لَقِيْـتُمْ أَحَدَهُمْ فِي الطَّرِيْقِ فَاضْطَرُّوْهُ إِلىَ أَضْيَق"Janganlah kalian memulai orang yang Yahudi dan Nashrani dengan salam, jika kalian menemukan salah seorang dari mereka di jalanan maka desaklah mereka ke jalan yang lebih sempit".[20] Dan jika ingin menghormatinya maka hormatilah dia dengan selain salam. Dan apabila dia mengawali salam, maka hendaklah dia mengucapkan وَعَلَيْكُمْ[21] dan tidak mengapa setelah itu untuk bertanya kepadanya Bagaimana keadaanmu, bagaimana keadaan anak-anakmu, sebagaimana dibolehkan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah.[22] Dilarang menyampaikan salam dengan isyarat, berdasarkan hadits riwayat Jabir bin Abdullah t secara marfu' kepada Nabi ﷺلاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَهُوْد فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ"Janganlah memberi salam seperti salamnya orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat".[23] Boleh memperdengarkan salam pada sebuah majlis yang dihadiri oleh campuran orang muslim dan musyrik, dan niat mengucapkan salam tersebut hanya dikhususkan bagi orang muslim saja.[24]لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَـهُوْدِ فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ"Janganlah engkau menyampaikan salam seperti apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat".[25] Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat dan menjawabnya dengan isyarat, dan tidak terdapat baginya cara tertentu; terkadang dengan Rasulullah ﷺ menjawabnya dengan jari-jari, terkadang pula berisyarat dengan tangan atau memberikan isyarat dengan kepalanya dan disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa beliau berisyarat dengan telapak tangan.[26] Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang membaca Al-Qur'an dan dia wajib menjawabnya. Dimakruhkan memberikan salam kepada orang yang sedang menjauh untuk membuang hajat, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu bahwa seorang lelaki lewat sementara Rasulullah ﷺ sedang kencing, lalu lelaki tersebut mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ namun beliau tidak menjawabnya.[27] Dianjurkan mengucapkan salam saat memasuki rumah, sebagaimana dianjurkan mengucapkan salam saat rumah kosong; Dari Ibnu Umar t bahwa dia berkata Jika seseorang memasuki rumah yang tidak berpenghuni maka hendaklah dia mengatakanاَلّسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلىَ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ"Kesejahteraan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh".[28] Dianjurkan bagi seorang yang memasuki mesjid untuk shalat dua rekaat sebagai shalat tahiyatul mesjid sebelum mengucapkan salam. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata …dan di antara petunjuknya adalah orang yang memasuki mesjid mulai dengan dua rekaat tahiyatul masjid kemudian barulah ia datang dan mengucapkan salam kepada jama'ah yang sedang berkumpul seperti yang dijelaskan dalam hadits al-musi' shalatahu seorang yang mempraktikkan shalatnya secara tidak sempurna.[29] Tidak diperbolehkan bagi seseorang memasuki mesjid saat imam sedang berkhutbah pada hari jum'at, sementara dia sendiri mendengar khutbah tersebut, maka dilarang baginya memberi salam kepada orang yang ada di mesjid, dan orang yang berada di dalam mesjid tidak diperbolehkan menjawab salam tersebut saat imam sedang berkhutbah, namun jika menjawabnya dengan isyarat maka itu diperbolehkan.[30]Jika orang yang ada di sampingnya mengucapkan salam kepadanya lalu ingin menjabat tangannya saat imam sedang berkhutbah, maka dia boleh menjabat tangannya tanpa harus berbicara dan menjawab salamnya setelah khatib selesai dengan khutbah yang pertama, dan jika seseorang mengucapkan salam saat khatib berkhutbah dengan khutbah yang kedua maka engkau menjawab salamnya setelah kahtib selesai dari khutbahnya yang kedua.[31] Dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabdaمَنْ بَدَأَ بِالْكَلاَمِ قَبْلَ السَّلاَمِ فَلاَ تُجِبْيُبوْهُ"Barangsiapa yang memulai dengan mengobrol sebelum mengucakan salam maka janganlah engkau menjawabnya".[32] Dalam lafaz Ibnu Ady dijelaskan bahwa "Mengucapakan salam dahulu sebelum bertanya, maka barangsiapa yang memulai kepadamu dengan berbicara sebelum mengucapakan salam maka janganlah engkau menjawabnya". Dan diriwayatkan oleh Jabir t secara marfu' Rasulullah ﷺ bersabda لاَ تَأْذَنُـوْا ِلمَنْ لَمْ يَبْدَأْ بِالسَلاَم"Janganlah engkau mengizinkan orang yang tidak memulai dengan salam".[33] Termasuk sunnah mengucapkan salam ketika meninggalkan suatu majlis, berdasarkan hadits Rasulullah ﷺإِذَا نْتَهَى أَحَـدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُـوْمَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلىَ بِأَحَقَّ مَِن اْلآخِـرَةِ"Apabila salah seorang di antara kalian telah sampai pada sebuah majlis maka hendaklah dia mengucapkan salam, dan jika dia ingin bangkit keluar maka hendaklah mengucapkan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak dari yang terakhir dengan salam".[34] Meminyaki tangan dengan wewangian untuk berjabat tangan. Dari Tsabit Al-Banani bahwa Anas meminyaki tangannya dengan minyak wangi yang harum untuk berjabatan tangan dengan teman-temannya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah ditanya tentang hukum berjabat tangan setelah shalat fardhu, beliau menjawab “Berjabat tangan setelah menunaikan shalat fardhu bukan termasuk sunnah akan tetapi bid’ah”. Dan Al-Izz bin Abdusalam berkata “Berjabat tangan setelah melaksanakan shalat subuh dan asar adalah bid’ah kecuali bagi orang yang baru datang yang telah berkumpul dengan orang yang akan disalaminya sebelum shalat, sebab sesungguhnya berjabat tangan disyari’atkan saat baru datang dan Nabi ﷺ setelah selesai melaksanakan shalat wajib, beliau membaca wirid-wirid yang disyari’atkan, beristigfar tiga kali lalu bubar.[35] Di antara kesalahan yang terjadi adalah meninggalkan salam saat baru bertemu sekalipun tidak lama berpisah, dan hadits Al-Musi’ Shalatahu adalah dalil disyari’atkanya mengucapkan salam seklipun pertemuan sebelumnya berlalu selang beberapa waktu. Dan Imam Nawawi rahimahullah memberikan bab di dalam kitab riadhus shalihin tentang hadits Al-Musi’ Shalatahu, yaitu bab isthbaabu I’adatis salam ala man takarrara liqaa’ahu ala Qurbin bi an dakhala tsumma kharaja tsumma dkhala fil haal au haala bainahumaa syajarotun au nahwaha/ Bab dianjurkannya mengulangi salam bagi orang yang pertemuannya berkali-kali selang beberapa saat, yaitu dalam masa yang berdekatan; sekedar masuk kemudian keluar lalu masuk pada saat yang sama atau dihalangi oleh sebuah pohon atau yang lainnya. Ada beberapa bentuk penghormatan lain yang disyari’atkan, seperti mengucapkan مَرْحَبًا Selamat datang, tetapi yang paling utama agar penghormatan ini diucapkan bersamaan dengan salam, maka tidak boleh mencukupkan diri dengannya tanpa dibarengi salam. Sebagaimana yang diriwaytkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhu, ia berkata Saat utusan Abdul Qois mendatangi Nabi ﷺ, beliau menyambut mereka dengan mengucapkanمَـرْحَبًا بِالْـوَفْـدِ الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى“Selamat datang dengan utusan yang datang tanpa terhina dan penyesalan”. Lalu mereka berkata Wahai Rasulullah! Kita adalah bagian dari penduduk desa Rabi’ah, dan jarak di antara kami dan dirimu terpisah oleh suku Mudhar, kami tidak bisa mendatangimu kecuali pada bulan-bulan haram, maka perintahkanlah kepada kami dengan perkara yang jelas, yang dengannya kami bisa masuk surga dan sebagai bekal yang kami akan dakwahkan kepada orang-orang di belakang kami..”.[36] Dalam hadits yang shahih Nabi ﷺ bersabdaإِذَا أَتىَ الرَّجُـلُ الْقَـوْمَ فَقَالُوْا مَرْحَبًا فَمَرْحَبًا بِهِ يَـوْمَ يَلْـقَى رَبَّهُApabila seseorang mendatangi suatu kaum kemudian mereka mengucapkan مَرْحَبًا maka keselamatan baginya pada hari dia bertemu dengan Tuhannya”.[37] Dan di antara cara memberikan penghormatan yang praktis adalah berjabat tangan, berpelukan dan mencium. Adapun brjabat tangan. Dijelaskan dalam hadits shahih dari Anas, dia berkata Pada saat penduduk Yaman mendatangi Nabi ﷺ, Rasulullah ﷺ berkata Telah datang kepadamu penduduk Yaman dan mereka adalah orang yang pertama datang dengan berjabat tangan”.[38]Diriwayakan dari Abu Dawud Rahimahullah dan yang lainnya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا"Tidaklah dua orang muslim saling berjabat tangan kecuali dosa-dosa mereka akan diampuni sebelum mereka berdua berpisah".[39] Dari Anas radhiallahu anhu Seorang lelaki berkata Wahai Rasulullah! Salah seorang di antara kami menemui sahabatnya yang lain, apakah dia harus tunduk kepadanya sebagai penghormatan baginya? Rasulullah menjawab "Tidak", lalu shahabat tersebut bertanya kembali Apakah dia harus memeluknya dan menciumnya? Rasulullah menjawab "Tidak", lalu shahabat tersebut kembali bertanya "Apakah dia harus berjabat tangan dengannya?" Maka Rasulullah menjawab Ya, jika dia mau melakukannya".[40] Sebagaimana tidak dianjurkan untuk mencabut tangan saat berjabatan tangan sampai shahabatnya tersebut yang memulai mencabut tangannya sendiri, sebagimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik t bahwa dia berkata Bahwa Rasulullah ﷺ jika menyambut seseorang dan menjabat tangannya maka beliau tidak mencabut tangannya sendiri sampai orang tersebutlah yang memulai mencabut tangannya".[41]Adapun berpelukan. para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan khusus untuk menyambut orang yang baru datang dari perjalanan, sebagian ulama mengatakan bahwa berpelukan disyari'atkan juga dalam keadaan tidak musafir jika waktu berpisah cukup lama atau orang yang berkunjung adalah seorang yang mempunyai kedudukan dan wibawa dan mereka butuh dengan sikap seperti ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Turmudzi rahihullah dalam kitab Al-Syama'il dan yang lainnya bahwa Rasulullah ﷺ mendatangi rumah Abi Al-Tayhan-salah seorang shahabat-maka pada saat dia melihat bahwa yang datang adalah Rasulullah ﷺ, dia segera mendatangi beliau dan memeluk Rasulullah ﷺ padahal rumahnya ada di Madinah.[42]Adapun mencium. Maka para ulama menyebutkan dibolehkannya mencium kepala, adapun mencium tangan maka sebagian ulama membenci hal tersebut, disebutkan dari syekhul Islam rahimhullah bahwa sebagian ulama menyebutnya sebagai sajdah sugro sujud kecil.Adapun mencium kedua pipi dan mulut. Maka perbuatan tersebut dilarang dan tidak boleh, dan larangan ini menjadi kuat bahkan hukumnya menjadi haram jika dibarengi dengan meningkatnya syahwat. Yang disyari’atkan adalah mencium kepala. Dan sebagian mereka membolehkan mencium tangan orang-orang shaleh dan para ulama yang mulia jika seseorang melakukannya karena dorongan keistiqomahannya di dalam agama dan dimakruhkan mencium tangan selain mereka dan tidak diperbolehkan sama sekali mencium tangan seorang lelaki remaja yang tampan, dan disebutkan di dalam catatan pinggir fatawa Imam Nawawi rahimhullah Ta’ala Apabila seseorang ingin mencium tangan orang lain karena kezuhudan, kesalehan, keilmuan, kemuliaan dan kedudukannya atau yang lainnya dari kemuliaan karena agama maka hal itu tidak dimakruhkan bahkan dianjurkan, sebab Abu Ubaidah telah mencium tangan Umar radhiallahu anhu, namun jika karena kekayaan, harta, kekuasaan dan wibawa terhadap orang yang ahli dunia dan yang seperti mereka maka perbuatan itu sangat dibenci.[43] Tidak termasuk kebiasaan generasi salaf dari sejak Nabi ﷺ dan khulafair rasyidin membiasakan berdiri saat menyambut Nabi ﷺ, sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian besar orang, bahkan Anas bin Malik radhiallahu anhu mengatakan tentang para shahabat bahwa tidak ada seorangpun yang lebih mereka cintai dari Nabi ﷺ, namun saat mereka melihat beliau, mereka tidak pernah beridiri untuk menyambutnya karena mereka mengetahui bahwa beliau membenci perbuatan tersebut[44], akan tetapi terkadang mereka bangkit untuk menyambut orang yang baru datang untuk menemuinya, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bangkit berdiri untuk menyambut Ikrimah, dan beliau juga memerintahkan kepada kaum Anshar saat Sa’ad bin Mu’adz ra kembali “Berdirilah untuk menyambut pemimpin kalian”, yaitu setelah beliau kembali memberikan keputusan hukuman bagi Yahudi Bani Quraidhah.[45]Jika kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa menghormati orang yang baru datang dengan cara berdiri, dan seandainya ditinggalkan orang beranggapan bahwa hal tersebut berarti meninggalkan hak orang yang baru datang, sementara mereka belum mengetahui perbuatan yang sesuai dengan sunnah, maka yang lebih baik adalah berdiri menyambut orang yang baru datang tersebut sebab hal ini lebih baik dalam menjaga kedamaian antar sesama dan menghindarkan timbulnya permusuhan dan saling benci. Adapun orang mengetahui bahwa kebiasaan suatu masyarakat adalah berbuat sesuatu yang sesuai dengan sunnah, maka meniggalkan berdiri untuk menyambut orang yang baru datang tidak termasuk menyakiti orang yang baru datang tersebut.[46][47]Dianjurkan bagi orang yang terhalang menjawab salam sudaranya untuk meminta maaf kepadanya dan menjelaskan alasannya. Diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu anhu bahwa Nabi ﷺ mengutusnya ke negeri Yaman, dia menceritakan "Aku mendatangi Nabi ﷺ sambil mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tidak menjawabku, akhirnya hatiku merasakan sesuatu yang Allah lebih tahu dengannya, aku berkata di dalam diriku Jangan-jangan beliau marah karena keterlambatanku mendatanginya”, kemudian, aku kembali mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tetap tidak menjawab salamku, maka aku merasa tidak enak di dalam hatiku lebih dari apa yang aku rasakan pada salam yang pertama, lalu aku kembali mengucapkan salam yang ketiga untuknya, kemudian beliau menjawab salamku, lalu bersabda "Hanya sanya yang menghalangi aku menjawab salammu adalah karena aku sedang shalat”. Dan pada saat itu beliau sedang shalat di atas hewan tunggangannya dan tidak menghadap kiblat.[48] Mengucapkan salam dengan lisan dan isyarat secara bersamaan kepada orang yang bisu dan tuli.[49] Disyari’atkan untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur. Imam Bukhari berkata dalam kitabnya Al-Adabul Mufrod Bab Jawabul Kitab, dari Ibnu Abbas, dia berkata “Saya berpendapat harus menjawab salam yang tertulis di dalam kitab sama seperti menjawab salam yang terucap”.[50][1] HR. Bukhari no 3326. Muslim no2841.[2] HR. Ibnu Hibban no 856, dishahihkan oleh Albani.[3]Al-Nawawi syarah shahih Muslim 2160.[4] Abu Dzakaria Al-Nawawi mengatakan Dianjurkan bagi orang yang mengucapkan salam untuk memulainya dengan اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ yaitu menyebutkannya dengan menggunakan kata ganti plural sekalipun sesorang mengucapkan salam kepada satu orang saja. Dan orang yang menjawabnya mengatakan وعَلََيْكُمْ اَلسَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ. Al-Adab Al-Syariyah 1/359.[5] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 986, Albani mengatakan Shahih.[6] Sunan Abu Dawud no 5209, dan Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.[7] Semua riwayat tentang mengulangi salam menyimpulkan bahwa mengulangi salam dilakukan pada kondisi tertentu, dan Imam Al-Nawawi mengatkan bahwa mengulangi salam dilakukan apabila jama'ah tempat mengucapkan salam tersebut berjumlah banyak Riyadhus Shalihin hal. 291. Dan mengulangi ucapan salam untuk meliputi semua jama'ah. Dan Ibnu Hajar mengatakan rahimahullah mengatakan bahwa mengulangi salam dilakukan jika seseorang merasa ragu kalau-kalau orang yang diberikan salam kepadanya tidak mendengarkan ucapan salam tersebut. Fathul Bari hadits no 6244, dan Zadul Ma'ad 2/418.[8] HR. Bukhari no 6244.[9] HR. Bukhari no12 dan Muslim no 39.[10] Al-Adabus Syar'iyah 1/396.[11] HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod no 986, dan Albani mengatakan Shahih.[12] HR. Bukhari no 6232. Muslim no 2160.[13] HR. Bukahri no 6231.[14] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.[15] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.[16] HR. Abu Dawud no 5231 dihasankan oleh Albani[17] Al-Adabus Syar'iyah 1/352.[18] HR. Bukahri no 6247.[19] HR. Muslim no 2055.[20] HR. Muslim no 2167[21] Kecuali jika ucapan selamat yang mereka lontarkan cukup jelas dan tidak membawa makna yang samar, maka dalam hal ini boleh bagi sesorang untuk menjawabnya, berdasarkan keumuman makna yang terkandung dalam firman Allah I وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا"Apabila kalian diberikan suatu penghormatan maka balasalah penghormatan tersebut dengan yang lebih baik darinya atau balaslah dengan hal yang sama".[22] Jika ada yang bertanya Bagaimana dengan sikap Nabi ﷺ yang mengawali salam kepada orang kafir dengan mengatakanسَلاَمٌ عَلىَ مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى...؟ keselamatan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Para mufassirin menyebutkan bahwa ucapan tersebut bukan penghormatan tetapi maksudnya adalah orang yang masuk Islam akan selamat dari adzab Allah. Oleh karena itu disebutkan setelahnya bahwa azab akan menimpa orang yang mendustakan dan berpaling dari tuntunan Allah, maka jawabannya adalah bahwa beliau tidak mengawali orang kafir dengan mengucapkan salam secara sengaja, sekalipun lafaz hadits ini seakan mengisyaratkan makna tersebut. Fathul Bari, Ibnu Hajar 1/38.[23] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, An-Nawawi 367.[24] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, Al-Nawawi 367[25].Fathul Bari 11/16, adapun tentang hadits Asma' binti Yazid yang mengatakan "Nabi saw mengulurkan tangannya kepada jama'ah perempuan saat menyampaikan salam". HR. Turmudzi no 2697, Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 1047, 1003, Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih, Imam Nawawi mengatakan bahwa kemungkinan bahwa Nabi saw mengumpulkan antara isyarat dengan ucapan salam, sebagimana yang disebutkan dalam riwayat Abi Dawud فَسَلَّمَ عَلَيْهِ dan mengucapkan salam kepadanya, Al-Adzkar hal. 356.[26] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya pada jilid ke 22, menyebutkan bahwa Jika orang yang sedang shalat mengetahui cara menjawab salam dengan isyarat maka dibolehkan menyampaikan salam kepadanya, jika dia tidak mengetahuinya maka sebaiknya tidak mengucapkan salam kepadanya agar shalat mereka yang wajib tidak terputus dengan perbuatan yang sunnah, sebab bisa jadi orang tersebut menjawab salam secara lisan sehingga menimbulkan kekurangan bagi shalatnya.[27] HR. Muslim no 370[28] Al-Adabul Mufrod no 1055 dan dihasankan oleh Al-bani.[29] Zadul Ma'ad 2/413-414.[30] Fatawa Lajnah Da'imah 8/243.[31]Fatawa Lajnah Da'imah 8/246 Saudi Arabia.[32] HR. Al-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dan Abu Na'im dalam kitab Al-Hulyah dihasankan oleh Al-Bani dalam Silsilatus Shahihah no 816.[33] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Al-Shahihah 817.[34] HR. Turmudzi nno 2861, Al-Bukahri dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 1008 dan Albani mengatakan hadits Shahih.[35] Al-Muhkamul Matiin Fi Ikhtisharul Qaulul Mubiin Fi Aktha’al Mushalliin, Mashur bin Hasan Ali Salman.[36] Shahih Bukhari no 5708.[37] As-Silsilatus Shahihah no 1189[38] HR. Abu Dawud no 5212[39] HR. Abu Dawud no 5212 dan Albani mengatakan bahawa hadits ini shahih.[40] HR. Turmudzi no2728, dan dikeluarkan oleh Alabni dalam kitabnya Sililatus Shahihah no160 1/288.[41] HR. Turmudzi no 2490, dishahihkan oleh Albani dengan berbagai jalan dalam kitab Al-Sisilatus Shahihah no 2485, 5/635[42] Al-Turmudzi no 2292.[43] Albani rahimhullah menegaskan dalam kitab Al-Silsilatus Shahihah 1/251 bahwa mencium tangan orang yang alim dibolehkan dengan tiga syarat1. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan, di mana orang yang alim tersebut secara sengaja mengulurkan tangannya kepada para Hal tersebut tidak menjadikan orang yang alim tersebut sombong terhadap orang Perbuatan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah berjabatan dalam fatwa syekh Ibnu Humaed rahimhullah “Tidak baik bagi seorang lelaki mencium mulut ibunya dan tidak pula mulut anaknya,, begitu juga kakak laki-laki tidak diperbolehkan mencium mulut adik perempuannya, dan bibi dari bapak, bibi dari ibu serta salah seorang mahromnya, mencium mulut khusus bagi seorang suami.[44] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no 946, dan terdapat sedikit perbedaan lafaz, Albani berkata Shahih.[45]HR. Bukhari no 6262.[46] Majmu’ fatawa 1/374-375[47] Ibnu Hajar rahimhullah berkata secara umum, jika berdiri untuk menyambut seseorang dianggap sebagai penghinaan dan bisa menimbulkan kerusakan maka hal itu tidak boleh dilakukan, dan makna inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Abdis Salam Fathul Bari 11/56. Ahlul Ilmi menjelaskan bahwa berdiri tersebut dibagi menjadi tiga macam1/Berdiri untuk mendatangi seseorang, maka hal ini tidak mengapa, sebab Nabi ﷺ saat kedatangan Sa’d bin Mu’adz t setelah memberikan hukuman kepada Yahudi dari Bani Quraidhah, Rasulullah ﷺ bersabda Berdirlah menuju pemimpin kalian HR. Bukhari no 4121, Muslim no untuk menyambut kedatangan seseorang, hal ini juga tidak mengapa, apalagi jika masyarakat menjadikannya sebagai kebiasaan, dan orang yang datang menganggap bahwa tidak berdiri untuk mneyambutnya adalah penghinaan, sekalipun yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut seperti yang dijelaskan di dalam sunnah, namun apabila masyarakat terbiasa dengan perbuatan seperti itu maka hal tersebut tidak mengapa untuk menghormati seseorang. Seperti seseorang duduk lalu salah seorang sebagai ketua berdiri untuk mengagungkannya, maka perbautan seperti ini terlarang. Rasulullah ﷺ bersabda لاَ تَقُوْمُوْا كَمَا تَقُوْمُوْا اْلأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًاJanganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ajam berdiri dalam mengormati sebagian mereka atas sebagian lannya” HR. Abu Dawud no 5230, dan dilemahkan oleh syekh Albani rhimhullah dalam kitab Silsilatud Dhaifah no 346. Syarhu Riadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin 1/ berdiri untuk kebaikan dan kemaslahatan, seperti berdirinya Ma’qil bin Yasar untuk mengangkat ranting sebuah pohon dari Rasulullah ﷺ saat berbai’at sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, dan berdirinya Abu Bakr t untuk melindunginya dari terik matahari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq maka perbuatan ini adalah mustahab.[48] Al-Adabus Syar’iyah 1/400.[49] Al-Aadbus Syar’iyah 1/402.[50] Al-Adabul Mufrod no 1117 dengan sanad yang hasan.
ADABBERJUMPA. by Redaksi Muhammadiyah. 2 years ago. in Aqidah, Hukum Islam. “Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi SAW bersabda: ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Rabbnya, seorang
Agama Islam adalah agama yang penuh adab dan akhlak. Salah satu yang diatur adalah adab bertanya kepada guru. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan 1. Tidak terburu-buru menagih jawaban Contoh ketika SMS/WA “Ustadz, tolong jelaskan hukum shalat ini beserta dalilnya dan rinciannya, kalau bisa cepat dibalas ustadz, ini sedang membuat bantahan” Mungkin jawabannya “Silahkan buka buku sifat shalat” Perlu dipahami bahwa guru kita juga banyak urusan dan bisa jadi terbatas ilmu dan waktu. Agar mendapat ilmu yang berkah tidak boleh tergesa-gesa dan harus beradab dengan guru.[1] 2. Tidak bertanya yang bisa “mengadu domba” Contohnya di suatu majelis ilmu sesi tanya jawab, Fulan Ustadz, apa hukumnya ini? Ustadz Hukumnya mubah Fulan Tapi ustadz A berpendapat haram ustadz ! Ini bukan adab yang baik dan bisa membenturkan pendapat ustadz tersebut karena mereka sezaman dan selevel. Berbeda halnya jika ia membawa dalil berupa hadits atau perkataan ulama berbeda zaman, ini tidaklah mengapa 3. Tidak terlalu banyak bertanya yang tidak perlu dan fakta itu belum terjadi contoh Fulan Kalau di bulan arah kiblatnya ke mana? Apa hukum makan daging dinosaurus? Mungkin jawabannya Tolong SMS saya kalau kamu sudah di bulan ya. Terlalu banyak bertanya seperti ini adalah sebab kehancuran umat terdahulu sebagaimana dalam hadits [2] Semisal pertanyaan Bani Israil mengenai sapi apa yang harus disembelih sebagai qurban, mereka banyak bertanya ciri-cirinya akhirnya memberatkan mereka 4. Bertanya untuk melawan dan mendebat Bertanya dengan pertanyaan menjebak atau untuk memancing saja bukan untuk mencari jawaban atau diskusi Ibnul Qayyim menjelaskan menuntut ilmu itu bukan untuk melawan, ﺇﺫﺍ ﺟﻠﺴﺖ ﺇﻟﻰ ﻋﺎﻟﻢ ﻓﺴﻞ ﺗﻔﻘﻬﺎً ﻻ ﺗﻌﻨﺘﺎً “Jika anda duduk bersama seorang alim ahli ilmu maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan” [3] Inilah yang dimaksud hadits orang yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di depan ulama dan mendebat orang bodoh [4] Demikian semoga bermanfaat Yogyakarta Tercinta Penyusun Raehanul Bahraen Artikel Catatan kaki [1] Az-Zuhry menjelaskan pentingnya adab dan lemah lembut dalam menuntut ilmu, ﻭﻛﺎﻥ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻠﻄﻔﻪ ﻓﻜﺎﻥ ﻳﻌﺰﻩ ﻋﺰﺍ “Dahulu Ubaidullah yakni bin Abdullah bin Utbah, seorang tabi’in berlemah lembut ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, maka beliau memuliakannya dengan memberinya ilmu yang banyak” Ath-Thabaqat Al-Kubra 5/250 [2] Hadits berikut, ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﺃَﻫْﻠَﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ ﻛَﺜْﺮَﺓُ ﻣَﺴَﺎﺋِﻠِﻬِﻢْ ﻭَﺍﺧْﺘِﻼَﻓُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ “Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.” [HR. Bukhari dan Muslim] [3] Miftah Daris Sa’adah 1/168 [4] Hadits berikut, ﻣﻦ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻟﻴﺠﺎﺭﻱ ﺑﻪ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻟﻴﻤﺎﺭﻱ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻔﻬﺎﺀ ﺃﻭ ﻳﺼﺮﻑ ﺑﻪ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﺩﺧﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺭ “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka” HR. At-Tirmidzy 5/32 dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany
- У оጲесл
- Стил οኆ ዮиጶፋψխ
- Селаኺа ր ኗийеб
- Клቱሕօφажив иχо одеմሃሪ фես
- ጎሼазаኬ иψուծ կа оፗиψузօዝ
- ԵՒтруτохр ቻ ጣавусвաдоሼ
Jauhilahbanyak tertawa, karena ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya dari wajah seseorang (HR. Ibnu Hibban no. 361). Meskipun begitu, Rasulullah ﷺ pun bercanda dengan para sahabat. Beliau ﷺ bercanda tanpa melanggar adab-adab berkomunikasi, seperti berdusta dan menyakiti orang lain. Suatu hari, seorang perempuan paruh baya datang
Di dalam Al Qur’an terdapat beberapa ayat yang menganjurkan mengucapkan salam, baik saat memasuki rumah orang lain mau pun bertemu sahabat di jalan. Bahkan Allah SWT melarang umat Islam masuk ke rumah orang lain sebelum mengucapkan hadits dibawah yang menjelaskan tentangفَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْArtinya“…Maka apabila kamu memasuki suatu rumah hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya, yang artinya juga memberi salam kepada dirimu sendiri…” QS an-Nur [24] 61.Allah SWT berfirman di dalam Surat An-Nur ayat 27 yang artinya“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Keutamaan mengucap salam juga diriwayatkan dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih dari Abdullah bin Amr bin al-Ash,” Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, Islam apakah yang paling baik?’ Beliau Rasulullah SAW menjawab, Engkau memberi makan, dan mengucap salam kepada orang yang kamu kenal maupun orang yang tidak kamu kenal.”Betapa pentingnya meminta izin sebelum memasuki sebuah rumah yang bukan milik sendiri. Cara ini merupakan salah satu kaidah dalam begitu indah akhlak seseorang yang selalu mengawali ucapan salam kepada siapa pun yang ditemuinya. Sabda rasullullahوعن أَبي أُمامة صُدَيِّ بن عجلان الباهِلِي قال قال رسولُ الله إنَّ أَوْلَى النَّاس باللهِ مَنْ بَدَأهم بالسَّلام“Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” HR Abu Dawud dan Tirmidzi.Kaidah salam yang lain juga mengatur rendah dan tingginya suara saat mengucapkan salam. rutama ketika malam salam harus dengan suara rendah dan lembut selama dapat didengar oleh orang yang masih terjaga. Dengan kata lain, apabila mengucapkan salam pada malam hari selama bukan urusan yang amat penting dan mendesak, tidak boleh mengganggu orang yang sedang tidur apalagi Mengucapkan SalamDiriwayatkan dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih, Rasulullah SAW bersabda“Yang muda memberi salam kepada yang tua. Yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang lebih banyak.”Di dalam hadits riwayat Al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda “Dan anak kecil mengucapkan salam kepada yang lebih besar.”Adapun hadits dari Nabi SAW yang berbunyiوَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {مَنْ بَدَأَ بِالسَّلَامِ فَهُوَ أَوْلَى بِاللهِ وَرَسُوْلِهِNabi SAW bersabda, “Siapa yang memulai salam ketika bertemu dengan orang, maka ia lebih utama menurut Allah dan Rasul-Nya.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dari sahabat Abu Umamah Keempatوَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {السَّلَامُ مِنْ أسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَضَعَهُ اللهُ فِى الْأَرْضِ فَأَفْشُوْهُ، فَإِنَّ الرَّجُلَ الْمُسْلِمَ إِذَا مَرَّ بِقَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فَرَدُّوْا عَلَيْهِ كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ بِتَذْكِيْرِهِ إيَّاهُم السَّلَام، فَإِنْ لَمْ يَرُدُّوْا عَلَيْهِ رَدَّ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَأَطْيَبُNabi SAW bersabda, “Salam itu termasuk salah satu dari nama-nama Allah ta’ala yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam. Sungguh seorang laki-laki muslim jika melewati suatu kaum lalu ia mengucapkan salam kepada mereka, kemudian mereka menjawab salamnya, maka baginya atas mereka keutamaan derajat sebab mengingatkannya kepada mereka dengan salam. jika mereka tidak menjawab salamnya, maka orang yang lebih baik dari pada mereka dan lebih bagus telah menjawab salamnya.”Memberikan salam kepada saudara muslim sangat dianjurkan, lalu bagaimanakah hukum menjawab salam dari seorang muslim?Adapun hukum menjawab salam adalah wajib. Hal ini dipertegas dalam surat An-Nisa ayat 86, dimana Allah SWT berfirmanوَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًاArtinya “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”.Selain itu menjawab salam kepada sesama muslim adalah hal baik bagi orang yang mengucapkan salam tersebut untuk dijawab atau Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabdaحقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ“Hak sesama Muslim ada lima membalas salamnya, menjenguknya ketika ia sakit, mengikuti jenazahnya yang dibawa ke kuburan, memenuhi undangannya dan ber-tasymit ketika ia bersin” HR. Bukhari Muslim salam disebut juga tahiyyatul islam dan sesungguhnya ucapan salam ini jauh lebih baik dari pada sebuah sapaan gaul. Seperti yang saat ini umum digunakan oleh generasi muda yang telah dirasuki oleh tradisi budaya barat. Jika Salam yang Tidak Dijawab?Apabila kita mengucapkan salam berarti kita sedang mendoakan keselamatan kepada orang yang kita berikan salam. Adapun doa ini akan dibalas oleh doa malaikat untuk orang yang mengucapkan orang yang kita berikan salam tidak menjawab salam kita. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda“Ucapan salammu kepada orang-orang jika bertemu mereka, jika mereka membalasnya, maka Malaikat pun membalas salam untukmu dan untuk mereka, namun jika mereka tidak membalasnya, maka Malaikat akan membalas salam untukmu, lalu malah melaknat mereka atau mendiamkan mereka”.Macam-macam Adab SalamMengucapkan bertemu dan hendaknya didengar pihak yg diberi secara lengkap lebih bersalam sebelum didahului yg lain yang muda bersalam kepada yg salam kepada mereka yg membuang bersalam kepada orang kafir. Ada hukum bersalaman dengan non muslim yang patut kamu adab-adab yang bisa kita perhatikan dalam mengucapkan dan menjawab salam. Semoga menambah wawasan kita bersama.
Makaadab yang baik dalam bertanya adalah: **Bertanyalah dengan pertanyaan ringkas, padat namun jelas **Jika bertanya tentang sebuah tulisan, maka usahakan penanya baca dulu sampai tuntas, lalu ambil poin yang ingin ditanyakan dari tulisan tersebut, kemudian tanyakan dengan ringkas kepada ahli ilmu.
Adab, sifat dan sikap adalah cermin peribadi seseorang. Saya suka menulis dan menekankan tentang adab, sikap dan sifat. Bukan niat saya untuk tunjuk pandai yang sering digelar sebagai “poyo” ataupun untuk mengajar tetapi untuk saya bermuhasabah diri apabila membuat sesuatu perkara disamping berkongsi perasaan saya apabila berhadapan dengan situasi yang bakal saya ceritakan ini. Saya terpanggil menulis tentang adab menulis, membaca dan menjawab ini apabila sering menghadapi keadaan serba salah apabila menjawab email, atau mesej di FB, Twitter, Whatsapp dan sebagainya. Kadang-kadang terasa sedih, adakalanya lucu, sekali sekala geram dan seringkali saya terpana dan terpaku kerana tidak tahu bagaimana untuk menjawab pertanyaan atau mesej yang dihantar kepada saya. Mesej atau email begini adalah paling banyak mendominasi kotak email saya setiap hari. Saya tidak kisah untuk menjawab setiap pertanyaan namun biarlah saya faham apa yang anda tulis dan cuba tanyakan kepada saya itu. [spacer] Adab menulis Menulis adalah mudah. Tetapi cara anda menulis itu memberikan impak kepada orang yang membaca. Sekiranya anda menulis dengan cara yang baik maka impak yang anda berikan kepada orang yang membaca juga adalah baik. Saya pernah menulis tentang bagaimana pelajar universiti menulis email kepada saya untuk memohon tempat menjalakan latihan amali/praktikal/industri internship di sini. Nak menulis dan bertanya biarlah beradab. Menulis mesej kepada isteri, suami atau awek atau pakwe bukan main lagi – dimulakan dengan sebutan atau panggilan terlebih dahulu seperti “Sayang, awak kat mana?” “Bee, datang ambil I pukul 6 yer. Thanks” “Darling, kita nak ambil flight pagi ke petang yer?” “Ayang, tak rindu i ke?” “Mama, masak apa untuk dinner malam ni?” “Papa! papa tau tak yang papa ni nakal lah!” “Dear, tolong ambil dobi on the way balik nanti yer. TQ” dan macam-macam lagi. Kenapa kepada orang lain yang anda perlukan pertolongan namun anda tidak dapat menggunakan pendekatan yang sama? “Puan Siti, saya ingat nak mintak cuti minggu depan hari khamis dan jumaat boleh tak. TQ?” Cukup. Tak perlu ayat putar alam panjang berjela – cuma ringkas dan tepat. Ada pembuka iaitu Puan Siti disusuli dengan pertanyaan atau permintaan yang lengkap dan jelas kemudian diakhiri penutup iaitu terima kasih. Cukup. [spacer] Adab bertanya, Bertanya biarlah jelas. Lebih elok dan molek kiranya dimulakan dengan ucapan, disusuli dengan soalan dan diakhiri juga dengan ucapan. Namun yang sering saya terima adalah seperti ; “Saya nak kerja petik buah?”, “Ada kerja kosong?”, “Saya perlukan hotel di Berlin”, “Nak sewa kereta kat mana?” dan macam-macam lagi. Jadi, bagaimanakah saya dapat memberikan jawapan yang tepat dan jelas bagi soalan yang sebegitu?. Termanggu seketika saya mengadap komputer atau telefon sambil memikirkan jawapan yang sesuai. Kalau dijawab secara acuh tak acuh nanti ada yang terasa, kononnya saya sombonglah saya perlilah dan sebagainya. Namun untuk menjawab secara tepat adalah amat sukar untuk saya. Kadangkala saya terfikir mungkin mereka merasakan yang saya ini seorang Psikik yang boleh membaca fikiran dan menterjemahkan apa sahaja yang mereka tulis. Kalau ikut perasaan maka bagi soalan yang pertama saya akan jawab ” Ha..kerjalah” sebab apa yang ditulis kepada saya bukanlah pertanyaan tetapi pernyataan. Bagi soalan yang kedua pula jawapan saya lebih mudah – cuma perlu jawab ya atau tidak sahaja. Namun adalah tidak tergamak untuk saya menjawab sebegitu kerana saya tahu mereka mengharapkan jawapan yang jelas daripada saya. Oleh itu jawapan yang terbaik dapat saya berikan adalah dengan bertanya soalan kembali, yang mana akibatnya akan terdapat satu siri komunikasi yang panjang rentetan dari satu email atau mesej jawapan untuk satu email atau mesej soalan. Saya lebih suka menerima satu set soalan yang lengkap sepanjang mungkin dan saya akan dapat menjawab sekaligus secara lengkap dan jelas. Tetapi apabila setiap email atau mesej ada satu soalan dengan 3 atau 4 patah perkataan maka amatlah sukar untuk saya memberikan ruang masa saya untuk menjawab soalan sebegitu. Alangkah bagus kalau email atau mesej yang diterima berbunyi ; “Assalamualaikum, saya nak tumpang tanya, kalau kita nak naik train dari Munich ke Amsterdam, perlukah kita beli tiket online atau di kaunter sahaja? Terima kasih – Hamzah, KL” Sesiapa sahaja yang membaca pertanyaan di atas pasti faham dengan jelas, apakah soalan yang ditanya dan siapa yang bertanya soalan. Tidak dinafikan, ramai juga orang yang menghantar email atau mesej saya dengan ayat dan penulisan yang bagus. Ramai juga yang penulisannya tidak bagus namun pertanyaan dan cara tulisannya membuat saya senang hati. [spacer] Adab Menjawab Apabila ditanya soalan atau ditegur maka kita wajiblah menjawab. Ketika kita sedang menunggu komuter dan orang disebelah kita bertanya; “Kak, gi Seremban ke?” maka kita pun jawab “Tak!” sambil menggeleng kepala kerana kita nak ke Subang Jaya. Sebaliknya apa yang dimaksudkan oleh adik tadi adalah tren komuter yang sedang ditunggu tersebut menuju ke Seremban kah. Adik tadi menjangkakan yang akak tadi dapat membaca akal fikiran beliau memandangkan ketika itu mereka sama-sama sedang menunggu tren komuter. Namun kalau adik tadi bertanya “Kak, tumpang tanya sikit. Komuter ni nak ke Seremban ke?” maka kita pun dengan lebih senang hati menjawab “Ohhh takk, yang ni nak ke Port Klang, kalau nak ke Seremban adik kena naik kat sebelah sana. Rasanya lagi 5 minit train sampai..adik kena pergi sekarang!” sambil tersenyum. Nampak tak perbezaan nada jawapan yang diberikan apabila pertanyaan yang diajukan lebih lengkap dan beradab? Begitu juga dengan saya, anda atau sesiapa sahaja yang menerima pertanyaan. Acapkali saya mengerut dahi memikirkan bagaimana hendak menjawab soalan yang diterima. Bukan bermakna saya tidak mahu anda menghantar email atau mesej bertanya soalan – tetapi biarlah lengkap dan saya mudah faham. Itu sahaja. Untuk saya tidak perlu ucapan salam, tidak perlu terima kasih dan sebagainya – cukup sekadar soalan yang lengkap untuk saya mudah menjawabnya. [spacer] Adab Membalas Apabila kita dah terima jawapan maka apa yang harus kita lakukan? Memaling belakang dan berlalu begitu sahaja? Sudah pasti tidak. Perkataan yang lazim diucapkan adalah terima kasih. Sangat mudah dan tak sampai pun 2 saat untuk menyebutnya dan tidak sampai 6 saat pun apabila menaip di komputer menggunakan keyboard atau di telefon pintar masing-masing. Tidak susah bukan? Kalau tidak susah kenapa tidak dilakukan? Adakah anda tidak peduli? Anda tidak kisah? Untuk saya, ucapan terima kasih bukanlah saya inginkan tetapi balasan email atau mesej dari anda yang saya nantikan. Sekurang-kurangnya apabila dah mendapat jawapan dari saya, tulislah 2 patah perkataan seperti “saya faham” atau “ohhh macam tu” ” ok tau dah” dan sebagainya. Jadi saya tahu yang anda telah menerima balasan email atau mesej saya. Apabila tiada jawapan balas dari anda maka saya sering tertanya-tanya “dia tak terima email kah?”, “email masuk spam kah?” atau “dia belum baca lagi kot” dan macam -macam lagi. Mengapa saya risau dan tertanya-tanya? Kerana seperti yang saya nyatakan di atas. Apabila seseorang bertanya kepada saya maka wajiblah saya memberi jawapan – samada pendek ataupun panjang. Jadi apabila tidak mendapat balasan maka saya rasa bersalah dan merasakan yang anda tidak menerima jawapan balas dari saya. Selain itu, saya antara 1 hingga 3 jam setiap hari untuk membalas semua email, komen dan mesej anda. Ada yang panjang berjela dan ada juga yang cuma sebaris kata. Jadi besarlah harapan saya agar ribuan perkataan yang taip setiap hari dapat memberi jawapan kepada pertanyaan anda. Oleh itu saya pohon kepada semua pembaca di luar sana, apabila menghantar email kepada saya atau kepada sesiapa sahaja terutama kepada mereka yang menulis email atau mesej untuk memohon kerja atau bantuan atau sebagainya – tulislah dengan lengkap dan beradab kerana diri anda dinilai melalui tulisan anda. Letaklah diri anda di tempat orang di sebelah sana yang memberikan jawapan kepada anda – mungkin anda akan lebih tahu betapa bernilainya “acknowledgement” dan ucapan terima kasih. [divider top=”no” style=”dotted” size=”2″ margin=”10″] Saya amat yakin yang setiap email atau mesej yang dihantar kepada saya mendapat balasan samada pendek ataupun panjang. Ada yang bertanya satu soalan dengan hanya 10 perkataan tetapi mendapat balasan dengan 5 perenggan dengan 280 patah perkataan bersama jawapan yang lengkap. Ada juga yang menulis hampir 150 oatah perkataan kepada saya tetapi saya hanya membalas dengan sebaris kata sahaja. Begitu juga dengan komen-komen samada di blog ini ataupun di facebook page saya. Saya mencuba sedaya upaya untuk menjawab semua soalan dan komen. Namun kepada mereka yang komennya atau email yang belum saya balas, maka saya mohon maaf. Mungkin ada yang saya tidak tahu bagaimana untuk menjawabnya dan mungkin ada yang terlepas pandang. [spacer] Saranan saya Satu lagi, kalau menulis komen di status FB yang hot atau viral tentang isu semasa, politik, agama dan sebagainya maka tulislah dengan beradab. Ribuan orang membaca tulisan anda dan dari situ orang menilai peribadi anda. Baik dan santun bahasa anda maka baiklah budi pekerti namun buruk dan carut bahasa anda maka itulah diri anda yang dapat dilihat oleh ribuan manusia lain. Kepada mereka yang terasa dengan artikel saya kali ini saya pohon ribuan ampun dan maaf. Semoga kita sama-sama dapat mengambil inisiatif untuk memupuk sifat serta sikap yang lebih baik. [spacer] Namun begitu Saya masih sering tertanya-tanya mengapa ada yang menulis dengan cara sebegitu dan kadangkala menggunakan singkatan perkataan yang sukar untuk difahami. Sukarkah untuk menulis dengan bahasa yang santun dan jelas? atau dengan lebih panjang sedikit supaya maksudnya sampai?. Adakah kredit telefon atau had limit internet akan terus habis sekiranya menulis dengan tambahan 10 atau 15 perkataan? Atau mungkin masa anda terlalu berharga untuk dihabiskan selama 10 minit untuk menulis dengan jelas dan terang agar lebih mudah difahami? Atau mungkin anda jenis “I Dont Care” ENTAHLAH..I Dont Know!
RKU3Zn. 5ge4k4g93s.pages.dev/6755ge4k4g93s.pages.dev/9895ge4k4g93s.pages.dev/9665ge4k4g93s.pages.dev/2455ge4k4g93s.pages.dev/8395ge4k4g93s.pages.dev/5725ge4k4g93s.pages.dev/9685ge4k4g93s.pages.dev/7315ge4k4g93s.pages.dev/2055ge4k4g93s.pages.dev/3715ge4k4g93s.pages.dev/6125ge4k4g93s.pages.dev/1655ge4k4g93s.pages.dev/2795ge4k4g93s.pages.dev/2825ge4k4g93s.pages.dev/236
adab bertanya dan menjawab